Mengapa Socrates Diadili? Latar Belakang Politik dan Sosial yang Mengguncang Athena
- Image Creator/Handoko
Malang, WISATA - Socrates, salah satu filsuf terbesar dalam sejarah dunia, menghadapi pengadilan dan hukuman mati yang menjadi titik balik dalam perkembangan filsafat Barat. Tetapi, mengapa seorang pemikir yang begitu dihormati dan dianggap bijaksana seperti Socrates diadili di Athena? Jawabannya terletak pada latar belakang politik dan sosial yang melingkupi Athena saat itu, sebuah kota yang sedang dilanda konflik, perubahan, dan ketidakpastian. Artikel ini akan menggali alasan di balik pengadilan Socrates serta bagaimana peristiwa ini mengguncang dunia filsafat hingga saat ini.
Athena di Era Perang dan Ketidakpastian
Untuk memahami pengadilan Socrates, kita harus melihat situasi politik dan sosial Athena pada abad ke-5 SM. Athena baru saja keluar dari Perang Peloponnesos (431–404 SM), sebuah konflik yang menghancurkan antara Athena dan Sparta. Perang ini meninggalkan Athena dalam keadaan yang rapuh, baik secara ekonomi, politik, maupun moral. Athena yang pernah berjaya sebagai pusat kekuatan demokrasi dan kebudayaan Yunani kini diliputi kekacauan dan ketidakpastian.
Selain itu, Athena juga mengalami krisis kepercayaan terhadap sistem demokrasinya sendiri. Kekalahan dalam perang dan pergantian rezim, termasuk kekuasaan tiga puluh tiran yang brutal, membuat rakyat Athena kehilangan kepercayaan pada stabilitas politik. Dalam konteks inilah sosok Socrates muncul sebagai figur yang kontroversial.
Tuduhan Terhadap Socrates: Merusak Moral dan Menentang Tuhan
Tuduhan yang diajukan terhadap Socrates pada tahun 399 SM adalah tuduhan yang berat. Ia dituduh "merusak moral generasi muda" dan "tidak mengakui dewa-dewa resmi kota, serta memperkenalkan dewa-dewa baru." Tuduhan ini tidak hanya politis tetapi juga moral, karena Socrates dianggap merusak tatanan sosial yang selama ini dipegang erat oleh masyarakat Athena.
Socrates dikenal sebagai seorang yang sering kali mempertanyakan nilai-nilai yang diterima begitu saja oleh masyarakat, terutama dalam bentuk dialog yang menantang keyakinan orang lain. Gaya bertanya dan berdialognya—dikenal sebagai metode dialektika atau metode Socratic—membuat banyak pemuda Athena tertarik untuk mendengarkannya. Namun, para penguasa dan elit politik menganggap bahwa pengajaran Socrates berbahaya, karena ia dianggap membentuk pandangan-pandangan yang mengkritik demokrasi dan otoritas yang ada.
Sosok yang Tidak Konvensional
Socrates tidak seperti para cendekiawan atau guru pada masanya. Ia tidak menulis buku atau membangun sekolah, melainkan berkeliling Athena berbicara dengan siapa saja yang ia temui. Ia sering kali berbicara dengan anak-anak muda yang kemudian menjadi pengikutnya, termasuk Plato, murid yang kemudian menjadi salah satu filsuf terbesar di dunia.
Keunikan Socrates juga terlihat dalam cara berpikirnya. Baginya, mencari kebenaran adalah tujuan hidup yang tertinggi. Ia meyakini bahwa kebijaksanaan sejati terletak dalam pengakuan bahwa seseorang tidak mengetahui apa-apa, dan oleh karenanya, harus terus mencari pengetahuan dan kebijaksanaan melalui dialog dan pemikiran kritis. Namun, gagasan-gagasan seperti ini membuat banyak orang merasa terganggu, terutama mereka yang memegang kekuasaan.
Dampak Perang Peloponnesos terhadap Sosial dan Politik Athena
Kekalahan Athena dalam Perang Peloponnesos juga memainkan peran besar dalam pengadilan Socrates. Setelah perang, Athena mengalami kerusuhan politik yang hebat, termasuk kudeta oligarki dan kekuasaan para tiran. Para pemimpin politik baru ini, yang sering kali berbeda pandangan dengan Socrates, melihat filsuf ini sebagai ancaman terhadap stabilitas politik mereka.
Para penguasa menganggap bahwa ajaran Socrates yang memprovokasi pemikiran kritis dan keraguan terhadap otoritas adalah hal yang berbahaya di masa-masa yang tidak pasti. Mereka khawatir bahwa pengaruh Socrates terhadap kaum muda Athena akan merongrong dasar-dasar tatanan sosial dan politik.
Pengadilan Socrates: Lebih dari Sekadar Hukuman
Pengadilan Socrates bukan hanya soal dakwaan terhadap filsuf itu secara pribadi, tetapi juga soal ketegangan yang mendalam di dalam masyarakat Athena. Ini adalah pertempuran antara pandangan dunia yang berbeda: antara mempertahankan status quo politik dan moral atau mendorong masyarakat untuk berpikir lebih dalam dan kritis tentang kepercayaan dan sistem yang ada.
Dalam pembelaannya, Socrates tidak berusaha menyenangkan juri atau mengubah takdirnya. Sebaliknya, ia tetap teguh pada prinsip-prinsipnya dan menegaskan bahwa ia akan terus mencari kebenaran dan mengajak orang lain untuk melakukannya, bahkan jika hal itu berarti menerima hukuman mati. Bagi Socrates, hidup tanpa mencari kebenaran tidaklah layak untuk dijalani.
Hukuman Mati dan Peninggalan Socrates
Pada akhirnya, Socrates dihukum mati dengan cara minum racun hemlock. Namun, kematiannya bukanlah akhir dari ajarannya. Murid-muridnya, terutama Plato, melestarikan ajaran-ajaran Socrates dan menyebarkannya ke seluruh dunia. Dialog-dialog yang ditulis oleh Plato tidak hanya mendokumentasikan metode berpikir Socrates tetapi juga menggambarkan warisan intelektualnya yang akan terus mempengaruhi dunia filsafat selama berabad-abad.
Kematian Socrates menjadi simbol keberanian intelektual dan moral. Pengadilannya menggambarkan bagaimana filsuf yang mempertanyakan kebiasaan-kebiasaan masyarakat bisa dianggap sebagai ancaman oleh mereka yang berkuasa, tetapi juga bagaimana pemikiran kritis dan pencarian kebenaran adalah hal yang tidak bisa dihentikan, meskipun dengan hukuman mati.
Pengadilan dan hukuman mati Socrates merupakan peristiwa besar dalam sejarah filsafat yang tidak hanya menggambarkan ketegangan politik dan sosial Athena, tetapi juga memberikan pelajaran penting tentang pencarian kebenaran, keberanian intelektual, dan pentingnya berpikir kritis. Meskipun penguasa Athena berusaha menghentikan pengaruhnya, ajaran Socrates terus hidup dan berkembang, menjadi dasar bagi banyak pemikiran filosofis hingga saat ini.