Marcus Aurelius: Anak Laki-Laki yang Ditakdirkan Menjadi Raja dan Warisan Kepemimpinan Abadi

- Cuplikan Layar
Jakarta, WISATA - Marcus Aurelius, seorang filsuf sekaligus kaisar, bukan hanya tokoh sejarah biasa. Ia adalah simbol keagungan moral yang kekal. Dalam buku terbaru The Boy Who Would Be King karya Ryan Holiday, kisah Marcus dihidupkan kembali secara indah dan inspiratif, bukan hanya sebagai catatan sejarah, tetapi sebagai fabel kehidupan bagi segala usia.
Kisah ini dimulai pada tahun 138 M, ketika Kaisar Hadrian menunjuk seorang anak laki-laki muda sebagai pewaris takhta. Hadrian tahu bahwa tak ada satu orang pun yang lahir siap memimpin dunia. Maka ia mempersiapkan Marcus dengan pendidikan terbaik yang mungkin tersedia. Para filsuf besar ditugaskan mengajarinya tentang kebajikan, disiplin, dan kekuasaan.
Buku ini bukan hanya tentang bagaimana Marcus menjadi kaisar. Ini adalah kisah tentang bagaimana seorang manusia belajar mengendalikan dirinya ketika diberi kekuasaan mutlak. Bukannya menjadi tiran, Marcus justru tumbuh menjadi pribadi yang lebih bijak dan luhur. Kekuasaan tidak merusaknya—ia memperkuat karakternya.
Ryan Holiday menyampaikan kisah ini dalam narasi yang memikat dan penuh nilai moral, dilengkapi ilustrasi luar biasa karya Victor Juhasz. Buku ini terdiri dari lebih dari 100 halaman dengan 82 ilustrasi eksklusif, serta peta perjalanan Marcus yang ditampilkan secara visual. Tak hanya ditulis untuk anak-anak, kisah ini mampu menyentuh pembaca segala usia.
Lebih dari sekadar biografi, The Boy Who Would Be King adalah cermin kehidupan kita semua. Ketika takdir memanggil kita menuju sesuatu yang besar, akankah kita menjawabnya? Akankah kita melangkah maju dan menjadi pribadi terbaik yang mungkin kita capai?
Sebagai bonus, setiap pembelian melalui situs resmi Daily Stoic juga mendapatkan versi audiobook gratis. Ini menjadikannya hadiah sempurna bagi siapa pun yang ingin menanamkan nilai-nilai kebajikan dalam hidup.
Seperti kata Steven Pressfield, “Ryan Holiday adalah harta nasional dan ahli dalam seni penguasaan diri.” Dengan buku ini, ia sekali lagi membuktikan bahwa fabel klasik bisa menjadi panduan praktis dalam kehidupan modern.