Stockholm Syndrome: Fenomena Psikologis yang Membuat Tawanan Hamas Simpati kepada Penyandera
WISATA – Viral di beberapa platform media sosial khususnya Twitter tentang adanya surat-surat yang ditulis oleh beberapa tawanan Israel yang dibebaskan kepada Hamas. Surat-surat tersebut menunjukkan rasa terima kasih dan simpati kepada para penyandera yang telah memperlakukan mereka dengan baik selama masa tahanan. Salah satu surat yang viral di media sosial adalah surat dari Danielle Aloni, seorang ibu dan anggota Palang Merah Internasional (ICRC) yang ditawan bersama putrinya, Rachel. Dalam suratnya Aloni mengatakan bahwa putinya merasa seperti seorang ratu di Gaza dan bahwa Hamas telah memberikan mereka makanan, pakaian dan obat-obatan yang cukup.
Surat-surat tersebut menimbulkan spekulasi bahwa para tawanan Israel mungkin mengalami stockholm syndrome. Stockholm syndrome adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi psikologis di mana tawanan atau korban kekerasan mengembangkan ikatan emosional dengan penyandera atau pelaku kekerasan. Ikatan ini dapat melibatkan rasa simpati, empati, atau identifikasi dengan tujuan penyandera atau pelaku kekerasan.
Para psikolog menduga bahwa stockholm syndrome merupakan cara tawanan untuk mengatasi stres atau trauma yang berlebihan akibat penyanderaan. Dengan membentuk ikatan dengan penyandera, tawanan merasa lebih aman, berharap akan dilepaskan, dan mengurangi rasa bersalah karena tidak dapat melawan. Selain itu, tawanan juga mungkin mencoba untuk memahami sudut pandang penyandera dan mengadopsi nilai-nilai atau tujuan mereka sebagai cara untuk bertahan hidup.
Stockholm syndrome bukanlah tanda kelemahan atau ketidakwarasan, tetapi sebuah mekanisme adaptif yang dapat membantu tawanan mengatasi situasi yang luar biasa. Namun, kondisi ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan hubungan sosial tawanan setelah mereka dibebaskan.
Beberapa faktor yang mungkin memperngaruhi timbulnya kondisi ini adalah :
- Para penyandera dan tawanan berada dalam ruangan dan tekanan situasi yang sama
- Situasi penyanderaan berlangsung cukup lama, bahkan hingga beberapa minggu
- Penyandera menunjukkan kebaikan kepada para tawanan atau setidaknya menahan diri untuk tidak melukai mereka
Untuk diketahui, Stockholm syndrome pertama kali diperkenalkan oleh seorang kriminolog dan psikiater Swedia, Nils Bejerot, berdasarkan kasus perampokan bank yang terjadi pada tahun 1973 di Stockholm, Swedia. Dalam kasus ini, para sandera justru membentuk ikatan emosional dengan para pelaku meski telah disekap selama enam hari. Sandera bahkan menolak bersaksi di pengadilan dan justru mengumpulkan dana bantuan hukum untuk membela pelaku.