Mengungkap Pertahanan Siber China: Bagaimana China Melindungi Negaranya dari Serangan Cyber

Cybersecurity (ilustrasi)
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA - Di era digital yang semakin berkembang, keamanan siber menjadi salah satu isu paling kritis di seluruh dunia. Negara-negara harus menghadapi ancaman cyber dari berbagai sumber, mulai dari individu hingga kelompok yang didukung oleh negara asing. Di antara negara-negara yang paling disorot dalam hal pertahanan siber, China telah memposisikan dirinya sebagai salah satu yang paling maju dan kompleks dalam hal melindungi negaranya dari serangan siber internasional.

Dengan jumlah pengguna internet lebih dari 1 miliar, China adalah salah satu negara dengan infrastruktur digital terbesar di dunia. Keamanan data dan jaringan di negara ini menjadi prioritas utama bagi pemerintahnya. Maka, bagaimana sebenarnya China melindungi negaranya dari serangan cyber internasional? Apa strategi dan teknologi yang mereka gunakan? Mari kita telusuri lebih dalam.

Kebijakan Ketat dalam Pengendalian Internet

Salah satu elemen paling penting dari pertahanan siber China adalah Great Firewall, sebuah sistem kontrol yang membatasi akses ke informasi dan situs-situs asing yang dianggap berbahaya atau bertentangan dengan kepentingan nasional. Kebijakan ini tidak hanya melindungi warga negara dari pengaruh luar yang dianggap merusak, tetapi juga meminimalisir risiko serangan siber yang datang dari luar negeri.

Menurut laporan Freedom House, China memiliki kebijakan pengendalian internet paling ketat di dunia. Pemerintah China membatasi akses ke platform-platform global seperti Google, Facebook, dan Twitter, menggantinya dengan layanan domestik yang lebih mudah diawasi dan dikendalikan, seperti WeChat dan Baidu. Dengan mengontrol lalu lintas data yang masuk dan keluar dari negara tersebut, China dapat mengawasi dan mencegah serangan cyber yang mungkin terjadi melalui platform internasional.

Inovasi Teknologi dan Kekuatan Cyber

China telah membuat kemajuan pesat dalam inovasi teknologi siber, mulai dari pengembangan kecerdasan buatan (AI) hingga big data untuk memperkuat pertahanan siber mereka. Menurut Global Cybersecurity Index 2023, China menempati peringkat ke-2 di dunia dalam hal kesiapan dan kekuatan pertahanan siber.

Salah satu teknologi yang mereka kembangkan adalah Quantum Cryptography, teknologi enkripsi kuantum yang diharapkan menjadi standar baru dalam keamanan data. Pada tahun 2017, China meluncurkan satelit Micius, satelit pertama di dunia yang mampu mengirimkan kunci enkripsi kuantum. Ini menjadi lompatan besar dalam keamanan siber global, karena komunikasi yang menggunakan enkripsi kuantum hampir mustahil untuk diretas.

Selain itu, pemerintah China telah menginvestasikan dana besar dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI) untuk mendeteksi dan merespons ancaman cyber secara otomatis. Teknologi AI ini dirancang untuk mengidentifikasi pola-pola serangan dan mengaktifkan pertahanan yang diperlukan bahkan sebelum serangan benar-benar terjadi.

Kerjasama Internasional dan Regulasi Domestik

Selain pengembangan teknologi, China juga aktif terlibat dalam kerjasama internasional untuk memperkuat keamanan sibernya. Meskipun sering dianggap sebagai ancaman oleh beberapa negara Barat, China telah berpartisipasi dalam diskusi dan perjanjian global terkait keamanan siber, seperti Konvensi Shanghai yang bertujuan untuk mengurangi kejahatan dunia maya di antara negara-negara anggota.

Di tingkat domestik, pemerintah China memberlakukan undang-undang keamanan siber yang sangat ketat. Pada tahun 2017, China menerapkan Cybersecurity Law, yang mewajibkan perusahaan teknologi asing untuk menyimpan data yang berkaitan dengan warga China di dalam negeri. Langkah ini bertujuan untuk mencegah data warga China bocor ke luar negeri dan menekan kemungkinan terjadinya serangan dari aktor asing.

Militerisasi Dunia Siber

China tidak hanya berfokus pada pertahanan siber pasif, tetapi juga melakukan militerisasi dunia siber. Unit militer khusus seperti Unit 61398, yang merupakan bagian dari People's Liberation Army (PLA), dilaporkan memiliki tugas khusus dalam mengamankan jaringan dalam negeri sekaligus melakukan operasi siber di luar negeri.

Unit 61398 ini pernah menjadi perhatian internasional setelah Amerika Serikat menuduh mereka terlibat dalam serangkaian serangan siber terhadap perusahaan-perusahaan Amerika. Meskipun tuduhan ini dibantah oleh China, keberadaan unit militer yang didedikasikan untuk operasi siber menunjukkan betapa seriusnya China dalam menghadapi ancaman cyber dari luar negeri.

Statistik Serangan Siber terhadap China

Meskipun China memiliki pertahanan siber yang kuat, negara ini tetap menjadi target utama serangan siber dari berbagai kelompok internasional. Menurut National Computer Network Emergency Response Technical Team (CNCERT), pada tahun 2022, China mengalami lebih dari 10.000 serangan siber yang signifikan, di mana lebih dari 70% berasal dari luar negeri.

Lebih lanjut, data dari Kaspersky Lab menunjukkan bahwa China adalah salah satu dari lima negara paling sering menjadi sasaran serangan ransomware global, dengan lebih dari 5 juta upaya serangan terdeteksi hanya dalam satu kuartal pada tahun 2022. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun China memiliki pertahanan yang tangguh, ancaman siber tetap merupakan tantangan yang terus berkembang.

China telah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam melindungi infrastruktur digitalnya dari serangan siber internasional. Dari kebijakan pengendalian internet yang ketat hingga pengembangan teknologi canggih seperti enkripsi kuantum dan kecerdasan buatan, negara ini berada di garis depan dalam perlindungan siber. Namun, seiring dengan meningkatnya jumlah serangan siber global, China terus memperkuat strategi dan kemitraan internasional untuk melawan ancaman ini.

Pertahanan siber yang kuat adalah elemen kunci dalam menjaga stabilitas dan kedaulatan di era digital ini. Dengan langkah-langkah yang telah diambil, China membuktikan bahwa keamanan siber bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.