Socrates: Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan yang Membentuk Seorang Filsuf Legendaris

Socrates di Tengah Warga
Sumber :
  • .elsaltodiario.com

Malang, WISATA - Socrates adalah salah satu tokoh filsafat yang paling berpengaruh dalam sejarah Barat. Namun, di balik reputasi dan ajaran filosofisnya yang mendunia, kehidupan pribadi dan latar belakang keluarga Socrates sering kali menjadi bagian yang kurang dikenal dari kisah hidupnya. Siapa sebenarnya Socrates? Bagaimana keluarganya dan pendidikan awalnya membentuk pemikiran yang revolusioner?

Socrates lahir di Athena pada tahun 470 SM, pada masa kejayaan Yunani Kuno. Ia berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya, Sophroniscus, adalah seorang pemahat batu (sculptor), sementara ibunya, Phaenarete, adalah seorang bidan. Meskipun berasal dari keluarga pekerja, Socrates menunjukkan kecerdasan luar biasa sejak usia dini. Kehidupan keluarga yang tidak terlalu berada ini mungkin berkontribusi pada gaya hidup Socrates yang terkenal dengan kesederhanaannya. Ia sering digambarkan sebagai seseorang yang tidak terlalu memperhatikan penampilan fisik atau kenyamanan material.

Socrates tumbuh besar di lingkungan Athena yang penuh dengan dinamika politik, intelektual, dan budaya. Meski berasal dari kelas sosial yang lebih rendah, Socrates tidak terhalang untuk bergaul dengan berbagai kalangan, termasuk para pemikir, seniman, dan politikus terkemuka pada masanya. Inilah yang membentuk pandangannya terhadap masyarakat dan kebijaksanaan, yang kemudian menjadi fondasi dari ajarannya.

Pendidikan formal di Athena pada masa itu lebih berfokus pada retorika, musik, dan latihan fisik, yang semuanya dipandang penting untuk membentuk warga negara yang aktif dan terdidik. Meski begitu, tidak banyak catatan yang mendetail tentang pendidikan formal Socrates. Namun, Socrates diketahui sangat tertarik pada berbagai bidang pengetahuan, termasuk seni dan sains, sebelum akhirnya menemukan gairahnya dalam filsafat.

Socrates muda mengembangkan kecintaan terhadap kebijaksanaan (philosophia) dan diskusi intelektual. Ia menghabiskan waktunya berbicara dengan orang-orang di Agora, alun-alun kota Athena yang menjadi pusat kehidupan sosial dan politik. Dari sinilah, Socrates mulai dikenal sebagai seseorang yang sering mempertanyakan nilai-nilai moral dan etika masyarakat. Berbeda dengan banyak pemikir lain pada zamannya, Socrates tidak pernah menulis pemikirannya. Sebaliknya, ajaran-ajarannya lebih banyak disebarkan melalui dialog lisan.

Pengaruh Sosial dan Hubungan dengan Masyarakat Athena

Socrates sangat aktif dalam interaksi sosial di Athena. Ia sering kali terlihat berbincang dengan para pemuda, politisi, dan siapa pun yang mau berdialog dengannya. Namun, metode bertanya yang sering kali disebut sebagai "Metode Socratic" membuatnya menjadi tokoh yang kontroversial. Dengan bertanya secara mendalam dan menantang asumsi yang ada, Socrates kerap kali membuat lawan bicaranya terpojok atau menyadari ketidaktahuan mereka.

Namun, sikap kritisnya terhadap nilai-nilai tradisional Athena juga membuat Socrates tidak disukai oleh banyak kalangan. Ia dianggap mengganggu ketertiban sosial dan berbahaya bagi pemikiran umum. Meski demikian, reputasinya sebagai filsuf yang bijaksana tetap tumbuh, dan ia memperoleh banyak pengikut, termasuk Plato, yang kemudian menjadi salah satu filsuf terbesar dalam sejarah.

Hubungan Socrates dengan murid-muridnya, terutama Plato, menjadi salah satu aspek paling penting dari warisan intelektualnya. Plato menggambarkan Socrates sebagai guru yang penuh kebijaksanaan dan selalu mendorong murid-muridnya untuk berpikir kritis. Melalui dialog-dialog Plato, kita mendapatkan gambaran tentang metode Socratic, di mana Socrates lebih memilih untuk tidak mengajar dalam arti konvensional, tetapi mendorong orang untuk menemukan kebenaran melalui serangkaian pertanyaan mendalam.

Plato sangat dipengaruhi oleh pemikiran Socrates, dan melalui tulisan-tulisannya, ia mengabadikan banyak ajaran gurunya. Dialektika, atau proses dialog dan perdebatan yang mendalam, menjadi metode utama dalam mencari kebenaran filosofis. Socrates percaya bahwa dengan dialog, seseorang dapat mendekati konsep kebijaksanaan yang lebih tinggi, dan itulah yang diajarkan kepada murid-muridnya.

Selain Plato, Socrates juga memiliki banyak murid lainnya, termasuk Xenophon dan Antisthenes. Meskipun masing-masing murid menafsirkan ajaran Socrates dengan caranya sendiri, pengaruhnya tetap terasa dalam karya-karya mereka.

Kehidupan dan pemikiran Socrates tidak hanya mempengaruhi murid-muridnya, tetapi juga meletakkan dasar bagi perkembangan filsafat Barat secara keseluruhan. Melalui pertanyaan-pertanyaannya yang terus menantang, Socrates membuka jalan bagi filsafat yang lebih analitis dan kritis. Ajaran-ajarannya tentang etika, politik, dan epistemologi masih terus dipelajari dan dibahas hingga saat ini.

Namun, ajaran Socrates tidak selalu diterima dengan baik oleh masyarakat pada zamannya. Akhir hidupnya ditandai dengan pengadilan yang kontroversial, di mana ia dituduh merusak pemuda dan tidak menghormati dewa-dewa Athena. Dalam pengadilan itu, Socrates memilih untuk mempertahankan prinsip-prinsipnya dan menolak untuk meminta maaf. Sebagai akibatnya, ia dihukum mati dengan meminum racun hemlock.

Meski Socrates meninggal dengan cara yang tragis, warisan intelektualnya tetap hidup. Hingga kini, Socrates dipandang sebagai titik awal dari tradisi filosofis yang terus berlanjut dalam peradaban Barat. Melalui ajaran-ajarannya, Socrates mengajarkan pentingnya mencari kebenaran, mempertanyakan asumsi, dan menjalani hidup yang didedikasikan untuk kebijaksanaan.

Socrates adalah tokoh yang unik dalam sejarah filsafat. Latar belakang keluarga yang sederhana, pendidikan yang mengutamakan kebijaksanaan, serta hubungan yang erat dengan murid-muridnya membentuknya menjadi salah satu filsuf terbesar yang pernah ada. Pengaruhnya terhadap murid-muridnya, terutama Plato, dan filsafat Barat secara keseluruhan, tetap relevan hingga saat ini.